Pria berambut gondrong itu tertawa lepas,
matanya belum juga teralihkan dari wajahku.
“Jadi, kamu rela nunggu dia selama itu dek?”
katanya tiba-tiba
“Nggak lama, hanya beberapa bulan dan aku udah
ngejalaninya lebih dari separoh.”
“Hebat kamu!” Hahaha ia terus menertawai kisahku
yang boleh dibilang lucu bagi sebagian orang. Sudah biasa bagiku ketika harus
mendengar tawa renyah mereka ketika mengetahui seluk-beluk dari kisah cintaku.
Bagiku indah, tapi bagi mereka mungkin itu sebuah kekonyolan dan bisa mereka
jadikan sebagai sumber tawa.
“Bagimu menunggu itu indah dek? Ah buat apa
ayahmu nguliahin kamu di kampus paling beken se Indonesia, kalau ngartiin kata
menunggu itu jadi indah. Hahahaha”
“Entahlah bang, yang jelas aku menunggunya tak
ku jadikan beban dalam hidup. Lagi pula aku malah bisa lebih bersabar dengan
menunggu.” Kataku dengan senyuman. Aku tak heran bila beberapa orang yang
menasehatiku telah jera untuk menyuruhku berhenti menunggu dan segera melupakan
pujaan hatiku itu.
“Kamu memang pintar dek nyari alasan.”
“Terserah apa katamu, yang jelas aku nggak akan
ngelepas dia lagi seperti dulu aku melepasnya. Aku bukan orang yang untuk
ketiga kalinya begitu bodoh mempermainkan dan melepas orang yang aku sayang.”
Kataku sambil tersenyum tipis kepada satu satunya kakak laki-lakiku ini. Ya,
walaupun sebenarnya aku terus yang diabaikan dalam kata menungguku ini. Aku
terus yang selalu tak diperdulikan oleh sosok yang aku tunggu. Dan mungkin aku
terus yang selamanya akan dicaci maki oleh dia, satu satunya sosok yang aku
nanti kehadirannya.
“Kamu bodoh di segi mencintai.”
“Kamu plin-plan bang di segi menilai orang,
tadi kau bilang aku pintar dan sekarang bodoh. Biarlah kata orang lain aku
sebodoh apapun aku sudah tak waras juga terserah mereka. Asalkan aku nyaman
jalaninya, aku yakin suatu saat ada kebahagiaan yang terselipkan di antara
kami. Cepat atau lambat.”
“Lambat. Kamu keras kepala dek, sekeras apapun
aku menasehatimu ujungnya juga kamu abaikan layaknya dia mengabaikanmu.”
“Aku dulu juga pernah mengabaikannya, bahkan
mungkin lebih menyakitkan daripada ini. Aku dulu juga pernah mempermainkannya,
bahkan lebih dari sekarang dia tak pedulikanku. Aku dulu juga pernah
mengkhianatinya, bahkan lebih dari dia sekarang yang lebih memilih orang lain
daripada aku. Aku menyayanginya bang, dan akan menunggunya. Udah , hanya itu.”
“Kamu yakin?”
“Yah, seperti yang kamu ketahui bang. Aku udah
yakin, yakin banget buat nunggu dia. Sampai batas waktu itu, bahkan mungkin
sampai dia temukan sosok yang bisa lebih lebih daripada aku.”
“Termasuk yakin terluka?”
“Itu kemungkinan yang paling aku tunggu. Aku
terluka dan dia bahagia.”
“Semoga kamu tak menyesal dek udah milih
menunggunya,”
“Sepenyesalku seharusnya dulu ketika aku
menyadari bahwa aku telah menyia-nyiakan orang yang paling bisa menyayangiku
dan bisa mengerti aku lebih. Dengan bodohnya aku malah menyakitinya.” Air
mataku menetes mengingat masa laluku yang begitu aku sia-siakan untuk
kesenangan sesaat dan untuk penyesalan selama ini. Aku dulu bodoh, sangat
bodoh!”
“Sudahlah, yang jelas abangmu ini sudah tidak
mau lagi melihatmu menangis. Hapus air matamu itu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar