Senin, 18 Maret 2013

Aku Terluka dan Dia Bahagia


Pria berambut gondrong itu tertawa lepas, matanya belum juga teralihkan dari wajahku.
“Jadi, kamu rela nunggu dia selama itu dek?” katanya tiba-tiba
“Nggak lama, hanya beberapa bulan dan aku udah ngejalaninya lebih dari separoh.”
“Hebat kamu!” Hahaha ia terus menertawai kisahku yang boleh dibilang lucu bagi sebagian orang. Sudah biasa bagiku ketika harus mendengar tawa renyah mereka ketika mengetahui seluk-beluk dari kisah cintaku. Bagiku indah, tapi bagi mereka mungkin itu sebuah kekonyolan dan bisa mereka jadikan sebagai sumber tawa.
“Bagimu menunggu itu indah dek? Ah buat apa ayahmu nguliahin kamu di kampus paling beken se Indonesia, kalau ngartiin kata menunggu itu jadi indah. Hahahaha”
“Entahlah bang, yang jelas aku menunggunya tak ku jadikan beban dalam hidup. Lagi pula aku malah bisa lebih bersabar dengan menunggu.” Kataku dengan senyuman. Aku tak heran bila beberapa orang yang menasehatiku telah jera untuk menyuruhku berhenti menunggu dan segera melupakan pujaan hatiku itu.
“Kamu memang pintar dek nyari alasan.”
“Terserah apa katamu, yang jelas aku nggak akan ngelepas dia lagi seperti dulu aku melepasnya. Aku bukan orang yang untuk ketiga kalinya begitu bodoh mempermainkan dan melepas orang yang aku sayang.” Kataku sambil tersenyum tipis kepada satu satunya kakak laki-lakiku ini. Ya, walaupun sebenarnya aku terus yang diabaikan dalam kata menungguku ini. Aku terus yang selalu tak diperdulikan oleh sosok yang aku tunggu. Dan mungkin aku terus yang selamanya akan dicaci maki oleh dia, satu satunya sosok yang aku nanti kehadirannya.
“Kamu bodoh di segi mencintai.”
“Kamu plin-plan bang di segi menilai orang, tadi kau bilang aku pintar dan sekarang bodoh. Biarlah kata orang lain aku sebodoh apapun aku sudah tak waras juga terserah mereka. Asalkan aku nyaman jalaninya, aku yakin suatu saat ada kebahagiaan yang terselipkan di antara kami. Cepat atau lambat.”
“Lambat. Kamu keras kepala dek, sekeras apapun aku menasehatimu ujungnya juga kamu abaikan layaknya dia mengabaikanmu.”
“Aku dulu juga pernah mengabaikannya, bahkan mungkin lebih menyakitkan daripada ini. Aku dulu juga pernah mempermainkannya, bahkan lebih dari sekarang dia tak pedulikanku. Aku dulu juga pernah mengkhianatinya, bahkan lebih dari dia sekarang yang lebih memilih orang lain daripada aku. Aku menyayanginya bang, dan akan menunggunya. Udah , hanya itu.”
“Kamu yakin?”
“Yah, seperti yang kamu ketahui bang. Aku udah yakin, yakin banget buat nunggu dia. Sampai batas waktu itu, bahkan mungkin sampai dia temukan sosok yang bisa lebih lebih daripada aku.”
“Termasuk yakin terluka?”
“Itu kemungkinan yang paling aku tunggu. Aku terluka dan dia bahagia.”
“Semoga kamu tak menyesal dek udah milih menunggunya,”
“Sepenyesalku seharusnya dulu ketika aku menyadari bahwa aku telah menyia-nyiakan orang yang paling bisa menyayangiku dan bisa mengerti aku lebih. Dengan bodohnya aku malah menyakitinya.” Air mataku menetes mengingat masa laluku yang begitu aku sia-siakan untuk kesenangan sesaat dan untuk penyesalan selama ini. Aku dulu bodoh, sangat bodoh!”
“Sudahlah, yang jelas abangmu ini sudah tidak mau lagi melihatmu menangis. Hapus air matamu itu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar