Selasa, 09 Juli 2013

Keluarga Besar dari Banyak Perbedaan



Malam ini, aku terduduk di atap rumahku. Memilih beratapkan bintang. Langit malam ini nampaknya cerah, secerah pemikiranku kali ini. Sudah 17 tahun aku menghirup udara kebebasan di dunia ini, hampir 18 tahun malah. Iya, hampir.
Tenang sekali malam ini, begitu damai. Tak ada beban yang menghinggapi naluriku. Tepat sebulan yang lalu, aku divonis lulus dari sekolah yang telah ku naungi selama 3 tahun. Setelah itu, aku memperoleh kejutan. Ternyata aku juga lolos seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri di Kotaku. Begitu bahagianya hidupku kali ini. Terimakasih Tuhan.
Masa putih abu-abu , ah jadi teringat masa-masa ku itu. Aku menemukan banyak suka dan duka, menemukan teman, sahabat dan bahkan tak lebih yang ku anggap sebagai keluargaku sendiri. Tapi dulu, HAHAHA … Ah, rasanya aku akan tertawa sekeras itu, jika mengingat masa dimana pertemuan dari sebuah keluarga ini.
Dulu, kita disatukan dari banyak perbedaan, persaingan, dan perselisihan. Dulu banyak kecanggungan yang kita alami. Dulu, sebuah keluarga ini terbagai menjadi beberapa gerombolan. Nggak bisa bersatu. Kalaupun berdiskusi pun kita memilih gerombolannya. Dulu , kita kompak banget loh kalau disuruh “nyontek” bersama. Iya, walaupun masih sering mengedepankan kata “persaingan” tapi nakalnya kita dulu emang nggak bisa diajak kompromi. Masih ingat yang sering nyontek saat ulangan Biologi? Saat ulangan Agama? Nggak usah malu ngakuinnya, yang nulis juga nggak pernah absen nyontek kok :D Aku pikir sih, kita dulu cuma kompakkan pas nyontek aja. Di sisi lain, kita tetep dan sering banget mentingin egois dari diri masing-masing. Ah tetapi ternyata itu semua adalah suatu kelengkapan dari sebuah keluarga. Keluarga yang tak akan pernah ku lupakan dalam hidupku.
Waktu pun berlalu, awal kelas XII semuanya berubah. Kita sudah saling mengenal, saling akrab satu sama lain. Merasa mulai “dekat” mungkin. Sudah bisa saling membaur dan mulai mencar alias nggak bergerombol :D kita mulai sadar untuk saling membantu di kelas XII. Lebih nggak mementingkan ego sendiri, meski persaingan itu masih tertulis mungkin di benak kalian. Kelas IPA 2 yang kita namakan CLASITO terkenal akan berbagai kekompakan, mulai dari kompak tidur di kelas nglembur buat nge-cat kelas. Kekompakkan kalian menjelajah jalanan liar, ke Ketep, Kukup, Pantai Sepanjang. Ah rasanya takkan habis menuliskan berjuta kenanganku dan kenangan kalian di masa putih abu abu. Ingin rasanya mengulang masa masa indah bersama kalian.  Mengagumkan , dari kecanggungan, kini kita telah menjadi sebuah keluarga. Ku harap kalian tak saling melupakan satu sama lain J
Sekalian juga, mau ngabsen dong. Yang kangen masa ngecat mengecat kelas mana suaranyaaa?~ Ada yang kangen masa touring-touring? Ada yang kangen nginep bareng dan bakaran di rumahnya arif? Ada yang kangen masa nyontek kalian? Ada yang kangen sama pacarnya yang satu kelas? *eh.  Aaaaaaaaah kalau yang nulis ini kangen semuanyaaaa. Ayo dibaleni meneh J
Mungkin kita nggak selamanya bisa bersama-sama, bisa terus berdampingan seperti kemarin-kemarin. Kita punya tujuan hidup yang berbeda, berbagai cita-cita yang telah kalian persiapkan dari kecil. Kita pergi, saling meninggalkan satu sama lain. Mencoba mencari keberuntungan tentang hidup dari diri sendiri. Aku percaya, kalian mampu menemukan kesuksesan kalian. Tuhan telah memberikan jalan untuk kita meraih impian itu, tinggal bagaimana kita memilih berbagai jalan. Apa kita akan tersesat ataupun tidak. Kita sama-sama berjuang kawan, sama-sama mencoba mencari kemenangan meski perbedaan jalan yang kita tempuh.
Selamat berpisah teman, Selamat berjuang dalam meraih segala impian kalian, Selamat menempuh hidup baru tanpa kekonyolan keluarga besar CLASITO, Selamat menemukan jalan hidup kalian masing-masing. Sampai jumpa di gerbang kesuksesan.

6 Mei 2013
10:41 PM

Aku Nampak Sempurna? Kau Hanya Tak Tahu Letak di mana “Pincang –ku”



Tuhan, aku menulis semua ini dengan butiran air mata yang tak kunjung reda dari pelupuk mataku. Tuhan, rasanya memang tak sebegitu percayanya aku akan kenyataan yang Kau tunjukkan. Semuanya memang menyedihkan, membuatku terus luluh tertunduk tangis tak menghiraukan semua yang ada di sekitarku. Tuhan, haruskah aku menyalahkan orang yang selama ini aku banggakan? Orang yang selama ini aku tunjukkan kekuatannya dalam semua kebaikannya? Orang yang selama ini aku sayangi, dan aku pikir adalah orang yang satu-satunya takkan pernah mengkhianati satu-satunya orang tersayang dalam hidupku? Tuhan, aku tak tau lagi kemana harus aku bernaung selain di hadapMu. Aku tak tau harus meluapkan semua tangisku ini selain di disini, di kertas ini dan di segala doa-doaku.
Sebelumnya, memang semuanya begitu indah. Berjalan Nampak sempurna, tak cacat sedikitpun. Semuanya memabukkanku dengan kata bahagia, membuatku terlena tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi di belakangku. Aku hanya mengerti sebuah kebahagiaan itu di hadapanku, tanpa tau bidadari yang selama ini aku sangat sayangi harus menahan sakit hati demi sebuah kebahagiaan itu. Ya Tuhan, andai saja aku mengetahuinya lebih dulu tanpa harus bidadari cantik itu yang menanggung sakitnya demi Aku, demi keluargaku.
Aku menyesal Tuhan, aku menyesal menambah sakit hati bidadari ini dengan sering kalinya aku mengabaikan amanatnya, bahkan aku sering kali tak mampu menahan amarahku sendiri. Dulu aku memang hanya mengetahui sebuah kebahagiaan, iya hanya itu. Aku tak mengetahui ternyata Beliau bersusah payah mempertahankan sebuah hubungan demi Aku, dan demi Kakakku. Iya, demi kebahagiaan buah cintanya.
Dulu, sering kali aku membanggakan sebuah keutuhan. Tanpa keretakkan, tanpa permusuhan, tanpa pertengkaran, tanpa amarah, tanpa kesalahan ah semuanya terlihat sempurna. Hingga akhir-akhir ini aku semakin dewasa, dan semakin mengerti apa arti ‘orang ketiga’ dalam sebuah hubungan. Aku amsih saja tak percaya, begitu fasihnya semua menyembunyikannya dariku, dari kehidupanku, dari seberapa yang aku ketahui dalam hidupku. YaAllah, kenapa baru sekarang Kau ijinkan aku untuk mengetahui semuanya? Semuanya sudah terlambat Tuhan, sudaaah. Dan Bidadariku yang sangat ku cintai itu telah menyerah untuk mempertahankan sebuah ‘keluarga’. Ah, mana ku tau semua akan menjadi seperti ini, semua yang aku banggakan kini harus aku sembunyikan, semua yang dulu membuat ku tertawa, kini harus mengajakku menangis, dengan luka. Bahkan tanpa sebuah kedamaian, semuanya telah berbeda Tuhan. Tak lagi sama seperti dulu, aku sekarang sebegitu hancurnya harus menahan beberapa luka yang “dulu” tak ku ketahui dan akhirnya ku ledakkan malam ini.
Aku masih menulis dengan air mata. Aku dulu menangis karena sebuah kebahagiaan dari keluarga sederhana ini, karena keberhasilan dari salah satu anggota keluarga ini. Tapi pada akhirnya? Sekarang? Aku harus mengeluarkan sejungkal air mataku demi sebuah pengkhianatan, demi sebuah sakit hati dari semua anggota keluargaku. Semua? Ah kurasa salah, ada seorang yang di sini bahagia atas air mataku dan sakit hati dari Bidadariku.
Hidupku dulu nampak sempurna Tuhan? Mungkin sekarang juga. Tapi, sekarang bedanya kecacatan ku tak lebih Nampak dari beberapa kesempurnaan hidupku dulu. Iya, mungkin :”) saat ini, kebahagiaan ku semakin menjauh dari hidupku. Aku hanya bisa merasakan beberapa getir sakitnya dari sebuah kata “mencintai” dari Bidadari tercantik ini. Aku tak kan lagi bisa menikmati hangatnya hari bercanda dengan seorang lelaki yang pantas aku sebut Ia dengan sebutan “Ayah”.
Tuhan, ini sebenarnya salah siapa? Salah laki-laki pengecut itu? Salah wanita jalang itu? Apa salahku? Aku yang selalu menuntut keluargaku untuk lebih bisa membahagiakanku? Ah, aku pikir aku harus menyalahkan dua orang penjalin hubungan yang tak sepantasnya itu. Perebut suami dan perebut istri orang mungkin lebih tepatnya!