Selasa, 09 Juli 2013

Keluarga Besar dari Banyak Perbedaan



Malam ini, aku terduduk di atap rumahku. Memilih beratapkan bintang. Langit malam ini nampaknya cerah, secerah pemikiranku kali ini. Sudah 17 tahun aku menghirup udara kebebasan di dunia ini, hampir 18 tahun malah. Iya, hampir.
Tenang sekali malam ini, begitu damai. Tak ada beban yang menghinggapi naluriku. Tepat sebulan yang lalu, aku divonis lulus dari sekolah yang telah ku naungi selama 3 tahun. Setelah itu, aku memperoleh kejutan. Ternyata aku juga lolos seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri di Kotaku. Begitu bahagianya hidupku kali ini. Terimakasih Tuhan.
Masa putih abu-abu , ah jadi teringat masa-masa ku itu. Aku menemukan banyak suka dan duka, menemukan teman, sahabat dan bahkan tak lebih yang ku anggap sebagai keluargaku sendiri. Tapi dulu, HAHAHA … Ah, rasanya aku akan tertawa sekeras itu, jika mengingat masa dimana pertemuan dari sebuah keluarga ini.
Dulu, kita disatukan dari banyak perbedaan, persaingan, dan perselisihan. Dulu banyak kecanggungan yang kita alami. Dulu, sebuah keluarga ini terbagai menjadi beberapa gerombolan. Nggak bisa bersatu. Kalaupun berdiskusi pun kita memilih gerombolannya. Dulu , kita kompak banget loh kalau disuruh “nyontek” bersama. Iya, walaupun masih sering mengedepankan kata “persaingan” tapi nakalnya kita dulu emang nggak bisa diajak kompromi. Masih ingat yang sering nyontek saat ulangan Biologi? Saat ulangan Agama? Nggak usah malu ngakuinnya, yang nulis juga nggak pernah absen nyontek kok :D Aku pikir sih, kita dulu cuma kompakkan pas nyontek aja. Di sisi lain, kita tetep dan sering banget mentingin egois dari diri masing-masing. Ah tetapi ternyata itu semua adalah suatu kelengkapan dari sebuah keluarga. Keluarga yang tak akan pernah ku lupakan dalam hidupku.
Waktu pun berlalu, awal kelas XII semuanya berubah. Kita sudah saling mengenal, saling akrab satu sama lain. Merasa mulai “dekat” mungkin. Sudah bisa saling membaur dan mulai mencar alias nggak bergerombol :D kita mulai sadar untuk saling membantu di kelas XII. Lebih nggak mementingkan ego sendiri, meski persaingan itu masih tertulis mungkin di benak kalian. Kelas IPA 2 yang kita namakan CLASITO terkenal akan berbagai kekompakan, mulai dari kompak tidur di kelas nglembur buat nge-cat kelas. Kekompakkan kalian menjelajah jalanan liar, ke Ketep, Kukup, Pantai Sepanjang. Ah rasanya takkan habis menuliskan berjuta kenanganku dan kenangan kalian di masa putih abu abu. Ingin rasanya mengulang masa masa indah bersama kalian.  Mengagumkan , dari kecanggungan, kini kita telah menjadi sebuah keluarga. Ku harap kalian tak saling melupakan satu sama lain J
Sekalian juga, mau ngabsen dong. Yang kangen masa ngecat mengecat kelas mana suaranyaaa?~ Ada yang kangen masa touring-touring? Ada yang kangen nginep bareng dan bakaran di rumahnya arif? Ada yang kangen masa nyontek kalian? Ada yang kangen sama pacarnya yang satu kelas? *eh.  Aaaaaaaaah kalau yang nulis ini kangen semuanyaaaa. Ayo dibaleni meneh J
Mungkin kita nggak selamanya bisa bersama-sama, bisa terus berdampingan seperti kemarin-kemarin. Kita punya tujuan hidup yang berbeda, berbagai cita-cita yang telah kalian persiapkan dari kecil. Kita pergi, saling meninggalkan satu sama lain. Mencoba mencari keberuntungan tentang hidup dari diri sendiri. Aku percaya, kalian mampu menemukan kesuksesan kalian. Tuhan telah memberikan jalan untuk kita meraih impian itu, tinggal bagaimana kita memilih berbagai jalan. Apa kita akan tersesat ataupun tidak. Kita sama-sama berjuang kawan, sama-sama mencoba mencari kemenangan meski perbedaan jalan yang kita tempuh.
Selamat berpisah teman, Selamat berjuang dalam meraih segala impian kalian, Selamat menempuh hidup baru tanpa kekonyolan keluarga besar CLASITO, Selamat menemukan jalan hidup kalian masing-masing. Sampai jumpa di gerbang kesuksesan.

6 Mei 2013
10:41 PM

Aku Nampak Sempurna? Kau Hanya Tak Tahu Letak di mana “Pincang –ku”



Tuhan, aku menulis semua ini dengan butiran air mata yang tak kunjung reda dari pelupuk mataku. Tuhan, rasanya memang tak sebegitu percayanya aku akan kenyataan yang Kau tunjukkan. Semuanya memang menyedihkan, membuatku terus luluh tertunduk tangis tak menghiraukan semua yang ada di sekitarku. Tuhan, haruskah aku menyalahkan orang yang selama ini aku banggakan? Orang yang selama ini aku tunjukkan kekuatannya dalam semua kebaikannya? Orang yang selama ini aku sayangi, dan aku pikir adalah orang yang satu-satunya takkan pernah mengkhianati satu-satunya orang tersayang dalam hidupku? Tuhan, aku tak tau lagi kemana harus aku bernaung selain di hadapMu. Aku tak tau harus meluapkan semua tangisku ini selain di disini, di kertas ini dan di segala doa-doaku.
Sebelumnya, memang semuanya begitu indah. Berjalan Nampak sempurna, tak cacat sedikitpun. Semuanya memabukkanku dengan kata bahagia, membuatku terlena tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi di belakangku. Aku hanya mengerti sebuah kebahagiaan itu di hadapanku, tanpa tau bidadari yang selama ini aku sangat sayangi harus menahan sakit hati demi sebuah kebahagiaan itu. Ya Tuhan, andai saja aku mengetahuinya lebih dulu tanpa harus bidadari cantik itu yang menanggung sakitnya demi Aku, demi keluargaku.
Aku menyesal Tuhan, aku menyesal menambah sakit hati bidadari ini dengan sering kalinya aku mengabaikan amanatnya, bahkan aku sering kali tak mampu menahan amarahku sendiri. Dulu aku memang hanya mengetahui sebuah kebahagiaan, iya hanya itu. Aku tak mengetahui ternyata Beliau bersusah payah mempertahankan sebuah hubungan demi Aku, dan demi Kakakku. Iya, demi kebahagiaan buah cintanya.
Dulu, sering kali aku membanggakan sebuah keutuhan. Tanpa keretakkan, tanpa permusuhan, tanpa pertengkaran, tanpa amarah, tanpa kesalahan ah semuanya terlihat sempurna. Hingga akhir-akhir ini aku semakin dewasa, dan semakin mengerti apa arti ‘orang ketiga’ dalam sebuah hubungan. Aku amsih saja tak percaya, begitu fasihnya semua menyembunyikannya dariku, dari kehidupanku, dari seberapa yang aku ketahui dalam hidupku. YaAllah, kenapa baru sekarang Kau ijinkan aku untuk mengetahui semuanya? Semuanya sudah terlambat Tuhan, sudaaah. Dan Bidadariku yang sangat ku cintai itu telah menyerah untuk mempertahankan sebuah ‘keluarga’. Ah, mana ku tau semua akan menjadi seperti ini, semua yang aku banggakan kini harus aku sembunyikan, semua yang dulu membuat ku tertawa, kini harus mengajakku menangis, dengan luka. Bahkan tanpa sebuah kedamaian, semuanya telah berbeda Tuhan. Tak lagi sama seperti dulu, aku sekarang sebegitu hancurnya harus menahan beberapa luka yang “dulu” tak ku ketahui dan akhirnya ku ledakkan malam ini.
Aku masih menulis dengan air mata. Aku dulu menangis karena sebuah kebahagiaan dari keluarga sederhana ini, karena keberhasilan dari salah satu anggota keluarga ini. Tapi pada akhirnya? Sekarang? Aku harus mengeluarkan sejungkal air mataku demi sebuah pengkhianatan, demi sebuah sakit hati dari semua anggota keluargaku. Semua? Ah kurasa salah, ada seorang yang di sini bahagia atas air mataku dan sakit hati dari Bidadariku.
Hidupku dulu nampak sempurna Tuhan? Mungkin sekarang juga. Tapi, sekarang bedanya kecacatan ku tak lebih Nampak dari beberapa kesempurnaan hidupku dulu. Iya, mungkin :”) saat ini, kebahagiaan ku semakin menjauh dari hidupku. Aku hanya bisa merasakan beberapa getir sakitnya dari sebuah kata “mencintai” dari Bidadari tercantik ini. Aku tak kan lagi bisa menikmati hangatnya hari bercanda dengan seorang lelaki yang pantas aku sebut Ia dengan sebutan “Ayah”.
Tuhan, ini sebenarnya salah siapa? Salah laki-laki pengecut itu? Salah wanita jalang itu? Apa salahku? Aku yang selalu menuntut keluargaku untuk lebih bisa membahagiakanku? Ah, aku pikir aku harus menyalahkan dua orang penjalin hubungan yang tak sepantasnya itu. Perebut suami dan perebut istri orang mungkin lebih tepatnya!

Senin, 18 Maret 2013

Aku Terluka dan Dia Bahagia


Pria berambut gondrong itu tertawa lepas, matanya belum juga teralihkan dari wajahku.
“Jadi, kamu rela nunggu dia selama itu dek?” katanya tiba-tiba
“Nggak lama, hanya beberapa bulan dan aku udah ngejalaninya lebih dari separoh.”
“Hebat kamu!” Hahaha ia terus menertawai kisahku yang boleh dibilang lucu bagi sebagian orang. Sudah biasa bagiku ketika harus mendengar tawa renyah mereka ketika mengetahui seluk-beluk dari kisah cintaku. Bagiku indah, tapi bagi mereka mungkin itu sebuah kekonyolan dan bisa mereka jadikan sebagai sumber tawa.
“Bagimu menunggu itu indah dek? Ah buat apa ayahmu nguliahin kamu di kampus paling beken se Indonesia, kalau ngartiin kata menunggu itu jadi indah. Hahahaha”
“Entahlah bang, yang jelas aku menunggunya tak ku jadikan beban dalam hidup. Lagi pula aku malah bisa lebih bersabar dengan menunggu.” Kataku dengan senyuman. Aku tak heran bila beberapa orang yang menasehatiku telah jera untuk menyuruhku berhenti menunggu dan segera melupakan pujaan hatiku itu.
“Kamu memang pintar dek nyari alasan.”
“Terserah apa katamu, yang jelas aku nggak akan ngelepas dia lagi seperti dulu aku melepasnya. Aku bukan orang yang untuk ketiga kalinya begitu bodoh mempermainkan dan melepas orang yang aku sayang.” Kataku sambil tersenyum tipis kepada satu satunya kakak laki-lakiku ini. Ya, walaupun sebenarnya aku terus yang diabaikan dalam kata menungguku ini. Aku terus yang selalu tak diperdulikan oleh sosok yang aku tunggu. Dan mungkin aku terus yang selamanya akan dicaci maki oleh dia, satu satunya sosok yang aku nanti kehadirannya.
“Kamu bodoh di segi mencintai.”
“Kamu plin-plan bang di segi menilai orang, tadi kau bilang aku pintar dan sekarang bodoh. Biarlah kata orang lain aku sebodoh apapun aku sudah tak waras juga terserah mereka. Asalkan aku nyaman jalaninya, aku yakin suatu saat ada kebahagiaan yang terselipkan di antara kami. Cepat atau lambat.”
“Lambat. Kamu keras kepala dek, sekeras apapun aku menasehatimu ujungnya juga kamu abaikan layaknya dia mengabaikanmu.”
“Aku dulu juga pernah mengabaikannya, bahkan mungkin lebih menyakitkan daripada ini. Aku dulu juga pernah mempermainkannya, bahkan lebih dari sekarang dia tak pedulikanku. Aku dulu juga pernah mengkhianatinya, bahkan lebih dari dia sekarang yang lebih memilih orang lain daripada aku. Aku menyayanginya bang, dan akan menunggunya. Udah , hanya itu.”
“Kamu yakin?”
“Yah, seperti yang kamu ketahui bang. Aku udah yakin, yakin banget buat nunggu dia. Sampai batas waktu itu, bahkan mungkin sampai dia temukan sosok yang bisa lebih lebih daripada aku.”
“Termasuk yakin terluka?”
“Itu kemungkinan yang paling aku tunggu. Aku terluka dan dia bahagia.”
“Semoga kamu tak menyesal dek udah milih menunggunya,”
“Sepenyesalku seharusnya dulu ketika aku menyadari bahwa aku telah menyia-nyiakan orang yang paling bisa menyayangiku dan bisa mengerti aku lebih. Dengan bodohnya aku malah menyakitinya.” Air mataku menetes mengingat masa laluku yang begitu aku sia-siakan untuk kesenangan sesaat dan untuk penyesalan selama ini. Aku dulu bodoh, sangat bodoh!”
“Sudahlah, yang jelas abangmu ini sudah tidak mau lagi melihatmu menangis. Hapus air matamu itu!”

Rasa ini terlalu bodoh untuk aku miliki


“When when I see you again…”
Lagu Don’t you remember milik Adele masih mengalun indah di telingaku. Entah apa yang masih aku pikirkan saat itu. Dentang jam mulai tak terasa lagi di otakku, semua hilang. Yang ada hanya namamu, kamu kamu kamu yang saat itu ada di hatiku. Namamu begitu syahdu merasuki jantungku, yang sekuat hati telah aku usir dari peraduan. Tengah malam itu aku tak terbangun karena mimpi buruk ataupun terbangun karena rasa lapar. Tengah malam itu aku benar-benar belum merasakan kantuk, mataku masih saja mampu menangkap sinyal-sinyal penglihatan, ia tak mau beristirahat. Mataku tak juga merasakan lelah. Aku teringat untuk menghubungi seseorang yang biasanya menemaniku ketika aku tak bisa terlelap. Orang itu, orang yang selalu ada di saat aku membutuhkannya. Walaupun dia aku sia-siakan, dia selalu ada untukku.
Jemariku terpaku ketika melihat namanya di kontak HP ku. Apa harus aku juga yang selalu menghubunginya pertama kali? Dia saja sepertinya merasa terganggu dengan sms ku. Aku teringat beberapa tahun lalu, saat dulu semuanya sebelum berbalik seperti saat ini. Dulu kamu yang selalu menghubungiku sekarang aku dulu yang harus menghubungimu. Dulu kamu yang selalu menyapaku ketika bertemu, sekarang aku yang harus menyapamu terlebih dahulu. Dulu , itu dulu duluuuu!
Aku harus kembali ke masaku sekarang, masa di mana aku  harus berjuang hanya demi mendapatkan secuil perhatian darimu. Masa dimana aku harus berjuang mencari kasih sayangmu yang dulu telah aku sia-siakan. Aku kini sendiri, tak punyaimu juga orang lain. Aku hanya sendiri dan berharap hanya kaulah satu-satunya yang akan menemaniku sampai akhir hidupku kelak. Ah mimpi! Tentu saja aku bermimpi untuk kau miliki lagi. Menyebut namaku pun kamu sudah tak sudi lagi, bagaimana dengan memilikiku kembali? Ah takkan mungkin!
Tiba-tiba HPku berdering. Satu sms diterima, aku pikir itu dari kamu. Ternyata tidak.

From     : Kak Andro
Belum tidur dek? Mikirin dia lagi ya? J
Jgn malem2 ya tidurnya, ada aku kok
yg nggak akan ninggalin kamu. Aku
sayang kamu :*
Received
      Sun, 10 March 2013
      01:10:13

Aku tak menyangka masih ada sosoknya yang menemaniku saat saat aku membutuhkan orang lain. Tuhan, andai saja aku mencintai pria ini tanpa harus mengharapkan ia yang tak memperdulikanku, pasti aku telah bahagia. Tuhan, kenapa Engkau biarkan rasa ini tumbuh di waktu yang terlambat? Di saat kamu mulai menyadari untuk meninggalkanku? Tuhan, aku bodoh atau rasa ini yang terlalu bodoh untuk aku miliki?
Aku mencoba terlelap malam itu, dan hasilnya masih nihil. Masih juga aku tak sanggup memejamkan mata. Aku perempuan bodoh? Iya aku bodoh! Menunggunya itu bodoh! Aku menunggunya, aku menyesali apa yang aku lakukan di masa lalu! Sementara aku kini mengabaikan beberapa cinta yang berusaha mendekatiku, apa aku tak terlalu bodoh?
                

Aku Menunggunya dan Dia Menungguku


Hujan di luar masih belum juga reda, mungkin malah lebih lebat semenjak pria yang duduk di depanku ini datang ke rumahku. Wajahnya nampak penuh beban, matanya selalu menatapku dengan harapan. Ia terduduk di sini semenjak sejam yang lalu, tak satupun kata keluar dari mulutnya. Ia membisu menatapku dan sesekali menatap layar TV.
“Kau mau pulang kapan? Aku tak lagi punya mantel untuk kau pakai, yang kemarin saja belum kamu kembalikan.” Kataku membuka percakapan yang sedari tadi membeku.
“Aku tak’kan pulang sebelum menjelaskan.”
“Apa lagi?”
“Alasan kenapa kamu menolakku, padahal aku tau. Jelas-jelas kamu begitu sangat mengagumiku, dan mungkin kamu mencintaiku.”
“Aku tak bisa jelaskan! Sudahlah, kamu pulang saja! Ini sudah larut malam.”
“Denisa, kamu tau keinginanku? Aku hanya ingin kamu menjelaskan semuanya. Sesudah itu aku takkan menganggumu lagi. Sudah , cuma itu Nis, nggak ada yang lain.”
Aku terdiam. Apa harus ku jelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada pria ini? Hatiku sendiri kini membeku, tak tau menau harus menceritakannya ataupun tidak. Aku mencoba mencari beberapa kekosongan dalam hatiku, tak kutemukan. Karena memang sebenarnya hatiku tlah terisi oleh sosoknya. Sosok yang terus membuat aku menunggu sampai detik ini, tapi kupu-kupu yang terus menari di perutku ini ternyata menggoyahkan keyakinanku. Ia nampaknya tak rela jika pilihan hatiku hanya tertuju kepada satu sosok pria yang ku tunggu. Karena sebenarnya masih ada satu lagi seseorang yang aku kagumi.
“Nggak bisa kak, aku nggak bisa nerima kamu. Nggak bisa.” Perkataanku yang spontan itu cukup membuat pria yang sebenarnya adalah kakak seniorku ini terperanjat. Ia mulai menatapku dengan perasaan tak mengerti. Ia terdiam, tangannya seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tak mengerti apa yang tengah terpikirkan oleh perasaan pria yang ada di depanku ini.
“Aku tahu Nis, pria itu kan? Pria yang buatmu menunggu selama ini dan ia tak berikan satupun kepastian kepadamu?” katanya tiba-tiba. Aku yang kini terperanjat kaget, darimana ia bisa mengetahui tentang isi hatiku sebenarnya? Bagaimana ia bisa mengerti sakit hati yang aku rasa karena penantianku selama ini?
“Jawab Nis! Ryan? Ryan? Ryan? Detak jantungmu hanya untuk dia? Sedikitpun nafasmu nggak ada buatku? Padahal kamu tau sendiri, berapa bulan kamu menunggu dia? Dan apa yang dia perbuat untukmu Nis? Cuma suruh nunggu dan nunggu, tanpa mikirin gimana perasaan kamu? Dia bodoh Nis, nyia-nyiain perempuan tangguh seperti kamu. Dia begitu sangat bodoh! Busuk!”
“Cukup kak! Cukup!” bendungan air mataku yang aku simpan sedari tadi kini menetes juga. Membanjiri punggung dari pipiku. Aku tak menyangka Andro bisa jauh lebih mengerti bagaimana perasaanku daripada pria yang aku tunggu selama ini. Melintas beberapa pertanyaan di hatiku, apa selama ini aku salah menunggu seseorang? Aku hanya melihat sosok dia yang aku tunggu tanpa memperhatikan sekelilingku yang begitu sangat menyayangiku. Aku telah salah menyia-nyiakan dia yang dari dulu memendam rasa kepadaku dan bahkan berjanji memberika kebahagiaan untuk kehidupanku.
“Denisa. Nggak usah nangis, aku sayang kamu. Aku nggak tega liat kamu nangis Nis. Sekarang terserah keputusanmu bagaimana. Yang jelas, aku sayang kamu. Aku bisa bahagiain lebih daripada Ryan. Ingat itu sayang.” Kata Andro dengan lembut.
“Bukan karena itu Kak,”
“Lalu apa?”
“Janjiku menunggunya aku anggap sebagai hutangku kepada hidupnya. Sebagai jawaban atas kesalahanku masa lalu.”
“Bukan berarti harus menyiksa hatimu sendiri kan? Dia nggak pantas kamu tunggu, nggak pantas kamu pertahanin. Dia pria terbodoh yang pernah aku temui. Kamu menyayangiku kan Nis?”
Aku mengangguk.
“Kita saling mencintai, lalu apa lagi yang harus kita perdebatkan Nis?”
“Nggak semudah itu kak.”
“Aku masih punyai janji menunggu ia sampai suatu waktu. Akan ku tepati janji itu. Sesudah itu akan ku jawab lagi pertanyaanmu tadi. Memang benar hatiku sekarang milikmu kak, tapi ragaku? Masih bersama hatinya.”
“Aku tunggu kamu, sesiapmu Nis. Aku yakin kamu bisa memilih seseorang yang benar-benar menyayangimu. Bukan malah orang yang menyuruh kamu menyakiti hatimu sendiri. Aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar yakin akan berhenti menunggunya.”
“Sebatas sampai janjiku menunggunya kak, nggak akan lebih.” Kataku sambil tersenyum. Lega rasanya malam ini melihat sosok baru dalam hatiku, melihatnya tersenyum bersamaan dengan aku tersenyum. Mulai sekarang aku menyayangimu Kak. Iya, memang masih ada dia yang aku tunggu, tapi sebenarnya hatiku telah menunggu sosok pria yang ada di depanku ini. Bukan lagi untuk kamu. “Sekarang sudah benar-benar larut malam. Hujan juga sudah reda, pulanglah. Aku tak mau terjadi apa-apa pada hati yang menungguku” kataku sambil tersenyum.
“Iya, aku pulang dulu. Jangan nangis lagi, jangan mikirin dia terus, mikirin badanmu yang terus kurus dari yang dulu. Inget aku yang menunggu kamu sesabar kamu menunggu dia. Aku sayang kamu!”

Dendammu Akan Bersahabat denganku!


Aku kembali termangu dalam diamku, memikirkan segala keluh kesah yang telah lama ku pertaruhkan. Aku tak bahagia Tuhan, jika terus menerus sekedar memikirkan dia setiap waktu. Empat bulan, tak begitu lama jika ku jalani tanpa sebuah beban.
“Aku bahagia, iya aku bahagia”
Terus menerus kata-kata itu aku ucapkan agar aku yakin bisa jalani empat bulan ku itu dengan senyuman, tanpa tangisan. Tapi sebenar-benarnya ada beberapa luka yang harus aku pendam di hati, ada beberapa dendam yang aku persiapkan untuknya kelak jika semuanya tlah berubah.
“Aku sanggup Tuhan, aku sanggup.”
Kata-kata itu terus menggema di telingaku. Jika aku bayangkan, dengan menunggunya empat bulan pun aku sebenarnya tak mampu. Hanya bayangan, dan belum ku jalani. Tapi pada akhirnya, aku telah menjalani lebih dari separoh waktu itu, dan aku sanggup, aku mampu menunggunya dengan beberapa pengabaiannya dari sikap-sikapnya.
“Aku sangat lelah Tuhan dengan beberapa sikapnya yang membuatku muak karna sebenarnya ujungnya aku yang harus tersakiti atas sikapnya itu”
Beberapa kali aku harus memendam tangisku dalam tawaku di depan sebagian orang, walaupun sebenarnya setiap kali mendapatkan sakit dari sikap yang menunjukkan keangkuhanmu itu aku harus menangis. Aku sengaja memendamnya agar mereka berpikir bahwa aku tak terlalu bodoh menangis untuk orang yang sama sekali tak memperdulikanku. Aku tak yakin, seberapa kuat aku harus memendam tangisku ini, yang jelas semua tangis yang aku pendam itu aku yakin akan ku tumpahkan pada saatnya. Akan ku tumpahkan semuanya, di depanmu, ya hanya di depanmu. Orang yang aku cintai.
“Sempat terpikir olehku untuk mengakhirinya.”
Aku memang hanya perempuan biasa yang tak selebihnya bisa terus bersabar dengan keadaan. Aku tak selamanya bisa bersabar dengan waktu, aku sempat berpikir untuk mengakhiri berbagai penantianku ini tentangmu. Tapi sayang, janjiku menghalanginya. Aku teringat janji ku sampai akhir April itu. Aku masih ingat, ingat betul. Juga janjimu untuk menerimaku kembali, ah sebodoh apa aku untuk percaya omong kosongmu itu. Iya, aku sadar sayang, aku sadar! Aku juga tau apa isi dari hatimu sayang, aku tau! “Dendam” bukan? Dendammu di masa lalu kan? Aku tau! Dendam mu untuk penyesalanku atau untuk perbuatanku di masalalu?  Aku belum mengetahuinya untuk hal itu. Tapi tenanglah, aku takkan peduli dengan alasanmu memberi dendam untukku, aku malah akan bersahabat dengan dendammu itu!
saat i 6 a u �J \J nginginkanmu. Sumber kebahagiaan dalam hidupku. Tak kan pernah ada yang lain. Hanya kamu, mantan yang ku nanti pelukmu dalam kebahagiaan, bukan setiap tangisan.

aku menyesal, apa kamu tau?


Dan ketika suatu kesalahan itu harus dibayarkan dengan penyesalan.
Tulisan ini aku tulis untuk orang yang terlebih aku sangat sayangi saat ini. Orang yang begitu kali ku sakiti.
Aku masih ingat benar saat itu, saat dimana aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang boleh dibilang “sangat pendek” untuk diakhiri. Aku masih ingat betul saat aku mulai menyesal (dulu) telah menyia-nyiakanmu karena orang lain yang sebenarnya tak ku sayangi. Dulu, aku yang meninggalkanmu dan aku yang berimu harapan lebih. Tapi mungkin semua itu tak lagi berlaku untuk kehidupan kita berdua. Roda memang telah memutarkan kisah cintaku dan cintamu. Kini ku berbalik menyayangimu lebih lebih dari dulu yang km berikan untukku. Kini aku yang berbalik mengharapkan seribu tatapan dari matamu, bahkan harapan hanya untuk mendapatkan beberapa pesan singkat yang memang seharusnya bisa jadi semangatku saat aku merasa kesepian dan berhak mendapatkan semangat dari orang yang aku sayang.
Sering kali aku menatap layar HP ku, bukan apa. Tapi karena aku butuh seribu pemikiran untuk mengirimmu sebuah pesan singkat ataupun tidak. Tak mungkin juga aku sebagai salah satu kaum hawa harus setiap kali menanyakan kabar kamu seorang kaum adam dengan cara mengirimkan sebuah pesan sms terlebih dahulu. Aku sudah seperti tak punyai harga diri dihadapanmu. Memintamu kembali dengan  berbagai penyesalan yang ku simpan dalam hati.
Sayang, andai saja dulu aku tak menyakitimu, andai saja dulu aku tak mengkhianatimu. Mungkin saja Tuhan punyai kehendak lain dibalik hatiku yang terus menunggumu. Mungkin saja, Tuhan sedang menyiapkan suatu yang indah untuk kita. Tapi bagiku, aku pikir rasa itu takkan kembali hadir di antara kita, tapi kenapa Tuhan mengahdirkannya kembali bagiku dan tidak bagimu?
Aku kini merindumu yang dulu, kamu yang bisa menjaga hatiku lebih dari sebuah tangan yang bisa selalu menjaga telapaknya. Aku merindukanmu yang dulu, yang selalu saja memberiku semangat bahkan saat aku tak inginkan itu semua. Bahkan ketika kamu ku abaikan , dengan tenang kamu berusaha membuatku tak mengabaikanmu. Ah itu dulu, bagimu mungkin sekarang adalah sekarang, dan masalalu adalah masalalu yang harus ku lepas. Andai saja Tuhan melepaskan masalalu ku dengan dia, mungkin aku sekarang sudah dapat belajar menyayangi orang lain selain kamu.
Kamu tahu sekarang bagaimana rasa sakitku ketika harus menerima berbagai pengabaianmu? Sudah lebih dari cukup dari sakit yang mungkin aku berikan dulu kepadamu. Aku kini tak peduli bagaimana kata setiap mulut yang terus mencaciku karena aku mengharapkanmu kembali. Sering kali aku dibilang bodoh, tak waras, tapi sebisa mungkin aku bertahan menunggumu, tetap menunggumu dan hanya menunggumu. Aku tak inginkan yang lain saat ini, aku hanya menginginkanmu. Sumber kebahagiaan dalam hidupku. Tak kan pernah ada yang lain. Hanya kamu, mantan yang ku nanti pelukmu dalam kebahagiaan, bukan setiap tangisan.

Hujan, tangis, tunggu, tegar!


Penyesalan memang selalu jatuh di akhir. Ia datang saat semuanya telah pergi, ia datang saat semuanya bersisa dalam sepi, dalam tangisan dan juga dalam harapan.
Pria itu kembali terdiam, tatapannya masih saja lekat kepadaku yang terus menyeka air mata.
“Jadi, kau menyesal dulu telah mengkhianatiku?” ucap pria itu.
Aku tak menjawab, aku masih saja tersedu-sedu menahan air mata yang sengaja ku tumpahkan di depan orang yang selama ini aku cintai dan aku harapkan kembali kehadirannya di kehidupanku.
“Lucu sekali penyesalanmu Hahahaha….” Ia tertawa sekeras mungkin, ia nampaknya sengaaja menyindirku dengan tawanya itu.
“Lucu bagimu? Haha iya memang lebih lucu lagi ketika harus menunggu orang yang disayangi selama itu tapi akhirnya orang itu lebih memilih pergi dengan orang lain. Itu yang lebih lucu…  Hahahaha” Aku tertawa dengan oktaf paling tinggi dan terus berusaha mengehentikan air mataku yang terus pecah dari pelupuk mataku.
“Lebih lucu lagi ketika kamu dimiliki orang lain dan orang itu telah berkhianat kepadanya, nggak hanya milih yang lain, orang itu bahkan menyia-nyiakan orang yang paling menyayanginya. Bodoh? Iya! Dia orang terbodoh yang pernah aku miliki. Nggak cuma sekali, DUA KALI! Ingat itu!”
Aku terdiam. Beribu kosa kata yang telah aku persiapkan untuk pertemuan ini luluh lantah, aku tak tau harus berkomentar apa dengan perkataannya tadi. Hatiku sepertinya teriris sedikit demi sedikit, perkataan pria di depanku ini telah cukup membuat hatiku seketika hancur. Tiga bulan sudah aku mencoba melupakan ia dari hidupku, melupakan sekecil apapun kenangannya di otakku. Tapi apa? Aku tak lantas mendapat apa yang aku mau, aku malah semakin hari semakin memendam rasa sayang kepadanya.
“Kenapa nangis? Cuma itu yang bisa kamu jawab atas kesalahanmu di masa lalu? Bodoh ya kamu!”
“Aku hanya ingin semuanya selesai hari ini, aku hanya ingin ada kejelasan diantara hubungan kita. Udah Cuma itu. Jangan ungkit masalalu. Aku tau aku salah, iya aku yang salah. Selalu salah buatmu. Aku yang dulu sengaja nyia-nyiain kamu, aku yang dulu sengaja mengkhianatimu, aku yang dulu sengaja pergi ninggalin kamu. Iya itu semua salahku, iya itu semua kebodohanku. Aku menyesal yan, aku menyesal.”
“Semuanya sudah jelas bukan? Aku nggak mungkin kembali sama kamu. Mikir, punya otak kan? Mana ada orang yang mau lagi dibodohi sama orang yang katanya sayang. Sama orang yang katanya peduli. Ah cuih …” ia meludah di hadapanku, ia sepertinya menganggapku telah jadi makhluk terendah yang ada di hidupnya.
“Sebodoh apa lagi aku dihadapanmu, serendah apapun aku di matamu. Aku akan menerimanya, asal kamu ngasih satu kesempatan lagi buatku. Udah, cuma itu!”
“Semudah itu? Sekali kamu buat kesalahan aku maafin, tapi untuk dua kali? Dan sekarang sepertinya kamu akan ngulangin kesalahan itu? Ah rasanya aku terlihat bodoh di depanmu, mau saja kau permainkan berkali-kali.”
“Aku salah, aku nyesel, aku … “ aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Tangisku menghalangiku, mungkin tangisan inilah yang sengaja mewakili betapa hancurnya hatiku kala itu. Aku sosok lemah saat ini yang terlihat di depannya, aku begitu hancur mendengar kata demi kata yang meluncur dari mulutnya.
“Sudahlah, jangan terusan nangis. Aku yakin kamu bisa dapetin yang lebih baik daripada aku.”
“Nggak ada, nggak akan ada yang seperti kamu.”
“Nggak ada yang sebodoh aku maksudmu? Yang kamu khianati dua kali dan tetap diam saja?”
Diam.
“Sudahlah, hapus air matamu. Aku tak tega melihatmu menangis seperti ini, aku juga pengen kamu bahagia. Tapi mungkin kebahagiaanmu bukan bersamaku. Aku memang masih sedikit memendam rasaku kepadamu, sedikit dan mungkin nggak kan bisa lebih.”
“Perempuan itu? Perempuan itu yang buat rasa kamu ke aku hilang? Perempuan yang satu kelas dengan mu di mata kuliah kalkulus itu? Perempuan pintar di mata kuliah kesayanganmu itu? Perempuan sempurna di matamu? Nggak sedikitpun dia nggoresin luka di hatimu? Iya?”
“Sepertinya kamu tau isi hatiku. Belum sepenuhnya dia ada di hatiku, masih ada kamu.”
“Ada aku dan hanya sedikit?”
“Akan bertambah jika kamu sabar menungguku. Tapi mungkin  memang lebih baik kamu mencari pria lain yang lebih baik dari ku”
“Tidak, aku akan tetap menunggumu. Meski kamu akhirnya akan memilih perempuan itu, aku akan tetap menunggumu. Aku akan penuhi janjiku, takkan ku ingkari. Mungkin dengan aku menunggumu kamu bisa menelaah perempuan mana yang sebenarnya mencintaimu. Ini terakhir kalinya kamu melihatku menangis, selebihnya aku akan mencoba tegar. Jangan harap kelak air mata ini masih milikmu.”