Senin, 18 Maret 2013

Aku Menunggunya dan Dia Menungguku


Hujan di luar masih belum juga reda, mungkin malah lebih lebat semenjak pria yang duduk di depanku ini datang ke rumahku. Wajahnya nampak penuh beban, matanya selalu menatapku dengan harapan. Ia terduduk di sini semenjak sejam yang lalu, tak satupun kata keluar dari mulutnya. Ia membisu menatapku dan sesekali menatap layar TV.
“Kau mau pulang kapan? Aku tak lagi punya mantel untuk kau pakai, yang kemarin saja belum kamu kembalikan.” Kataku membuka percakapan yang sedari tadi membeku.
“Aku tak’kan pulang sebelum menjelaskan.”
“Apa lagi?”
“Alasan kenapa kamu menolakku, padahal aku tau. Jelas-jelas kamu begitu sangat mengagumiku, dan mungkin kamu mencintaiku.”
“Aku tak bisa jelaskan! Sudahlah, kamu pulang saja! Ini sudah larut malam.”
“Denisa, kamu tau keinginanku? Aku hanya ingin kamu menjelaskan semuanya. Sesudah itu aku takkan menganggumu lagi. Sudah , cuma itu Nis, nggak ada yang lain.”
Aku terdiam. Apa harus ku jelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada pria ini? Hatiku sendiri kini membeku, tak tau menau harus menceritakannya ataupun tidak. Aku mencoba mencari beberapa kekosongan dalam hatiku, tak kutemukan. Karena memang sebenarnya hatiku tlah terisi oleh sosoknya. Sosok yang terus membuat aku menunggu sampai detik ini, tapi kupu-kupu yang terus menari di perutku ini ternyata menggoyahkan keyakinanku. Ia nampaknya tak rela jika pilihan hatiku hanya tertuju kepada satu sosok pria yang ku tunggu. Karena sebenarnya masih ada satu lagi seseorang yang aku kagumi.
“Nggak bisa kak, aku nggak bisa nerima kamu. Nggak bisa.” Perkataanku yang spontan itu cukup membuat pria yang sebenarnya adalah kakak seniorku ini terperanjat. Ia mulai menatapku dengan perasaan tak mengerti. Ia terdiam, tangannya seperti mengisyaratkan sesuatu. Aku tak mengerti apa yang tengah terpikirkan oleh perasaan pria yang ada di depanku ini.
“Aku tahu Nis, pria itu kan? Pria yang buatmu menunggu selama ini dan ia tak berikan satupun kepastian kepadamu?” katanya tiba-tiba. Aku yang kini terperanjat kaget, darimana ia bisa mengetahui tentang isi hatiku sebenarnya? Bagaimana ia bisa mengerti sakit hati yang aku rasa karena penantianku selama ini?
“Jawab Nis! Ryan? Ryan? Ryan? Detak jantungmu hanya untuk dia? Sedikitpun nafasmu nggak ada buatku? Padahal kamu tau sendiri, berapa bulan kamu menunggu dia? Dan apa yang dia perbuat untukmu Nis? Cuma suruh nunggu dan nunggu, tanpa mikirin gimana perasaan kamu? Dia bodoh Nis, nyia-nyiain perempuan tangguh seperti kamu. Dia begitu sangat bodoh! Busuk!”
“Cukup kak! Cukup!” bendungan air mataku yang aku simpan sedari tadi kini menetes juga. Membanjiri punggung dari pipiku. Aku tak menyangka Andro bisa jauh lebih mengerti bagaimana perasaanku daripada pria yang aku tunggu selama ini. Melintas beberapa pertanyaan di hatiku, apa selama ini aku salah menunggu seseorang? Aku hanya melihat sosok dia yang aku tunggu tanpa memperhatikan sekelilingku yang begitu sangat menyayangiku. Aku telah salah menyia-nyiakan dia yang dari dulu memendam rasa kepadaku dan bahkan berjanji memberika kebahagiaan untuk kehidupanku.
“Denisa. Nggak usah nangis, aku sayang kamu. Aku nggak tega liat kamu nangis Nis. Sekarang terserah keputusanmu bagaimana. Yang jelas, aku sayang kamu. Aku bisa bahagiain lebih daripada Ryan. Ingat itu sayang.” Kata Andro dengan lembut.
“Bukan karena itu Kak,”
“Lalu apa?”
“Janjiku menunggunya aku anggap sebagai hutangku kepada hidupnya. Sebagai jawaban atas kesalahanku masa lalu.”
“Bukan berarti harus menyiksa hatimu sendiri kan? Dia nggak pantas kamu tunggu, nggak pantas kamu pertahanin. Dia pria terbodoh yang pernah aku temui. Kamu menyayangiku kan Nis?”
Aku mengangguk.
“Kita saling mencintai, lalu apa lagi yang harus kita perdebatkan Nis?”
“Nggak semudah itu kak.”
“Aku masih punyai janji menunggu ia sampai suatu waktu. Akan ku tepati janji itu. Sesudah itu akan ku jawab lagi pertanyaanmu tadi. Memang benar hatiku sekarang milikmu kak, tapi ragaku? Masih bersama hatinya.”
“Aku tunggu kamu, sesiapmu Nis. Aku yakin kamu bisa memilih seseorang yang benar-benar menyayangimu. Bukan malah orang yang menyuruh kamu menyakiti hatimu sendiri. Aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar yakin akan berhenti menunggunya.”
“Sebatas sampai janjiku menunggunya kak, nggak akan lebih.” Kataku sambil tersenyum. Lega rasanya malam ini melihat sosok baru dalam hatiku, melihatnya tersenyum bersamaan dengan aku tersenyum. Mulai sekarang aku menyayangimu Kak. Iya, memang masih ada dia yang aku tunggu, tapi sebenarnya hatiku telah menunggu sosok pria yang ada di depanku ini. Bukan lagi untuk kamu. “Sekarang sudah benar-benar larut malam. Hujan juga sudah reda, pulanglah. Aku tak mau terjadi apa-apa pada hati yang menungguku” kataku sambil tersenyum.
“Iya, aku pulang dulu. Jangan nangis lagi, jangan mikirin dia terus, mikirin badanmu yang terus kurus dari yang dulu. Inget aku yang menunggu kamu sesabar kamu menunggu dia. Aku sayang kamu!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar