Senin, 18 Maret 2013

Hujan, tangis, tunggu, tegar!


Penyesalan memang selalu jatuh di akhir. Ia datang saat semuanya telah pergi, ia datang saat semuanya bersisa dalam sepi, dalam tangisan dan juga dalam harapan.
Pria itu kembali terdiam, tatapannya masih saja lekat kepadaku yang terus menyeka air mata.
“Jadi, kau menyesal dulu telah mengkhianatiku?” ucap pria itu.
Aku tak menjawab, aku masih saja tersedu-sedu menahan air mata yang sengaja ku tumpahkan di depan orang yang selama ini aku cintai dan aku harapkan kembali kehadirannya di kehidupanku.
“Lucu sekali penyesalanmu Hahahaha….” Ia tertawa sekeras mungkin, ia nampaknya sengaaja menyindirku dengan tawanya itu.
“Lucu bagimu? Haha iya memang lebih lucu lagi ketika harus menunggu orang yang disayangi selama itu tapi akhirnya orang itu lebih memilih pergi dengan orang lain. Itu yang lebih lucu…  Hahahaha” Aku tertawa dengan oktaf paling tinggi dan terus berusaha mengehentikan air mataku yang terus pecah dari pelupuk mataku.
“Lebih lucu lagi ketika kamu dimiliki orang lain dan orang itu telah berkhianat kepadanya, nggak hanya milih yang lain, orang itu bahkan menyia-nyiakan orang yang paling menyayanginya. Bodoh? Iya! Dia orang terbodoh yang pernah aku miliki. Nggak cuma sekali, DUA KALI! Ingat itu!”
Aku terdiam. Beribu kosa kata yang telah aku persiapkan untuk pertemuan ini luluh lantah, aku tak tau harus berkomentar apa dengan perkataannya tadi. Hatiku sepertinya teriris sedikit demi sedikit, perkataan pria di depanku ini telah cukup membuat hatiku seketika hancur. Tiga bulan sudah aku mencoba melupakan ia dari hidupku, melupakan sekecil apapun kenangannya di otakku. Tapi apa? Aku tak lantas mendapat apa yang aku mau, aku malah semakin hari semakin memendam rasa sayang kepadanya.
“Kenapa nangis? Cuma itu yang bisa kamu jawab atas kesalahanmu di masa lalu? Bodoh ya kamu!”
“Aku hanya ingin semuanya selesai hari ini, aku hanya ingin ada kejelasan diantara hubungan kita. Udah Cuma itu. Jangan ungkit masalalu. Aku tau aku salah, iya aku yang salah. Selalu salah buatmu. Aku yang dulu sengaja nyia-nyiain kamu, aku yang dulu sengaja mengkhianatimu, aku yang dulu sengaja pergi ninggalin kamu. Iya itu semua salahku, iya itu semua kebodohanku. Aku menyesal yan, aku menyesal.”
“Semuanya sudah jelas bukan? Aku nggak mungkin kembali sama kamu. Mikir, punya otak kan? Mana ada orang yang mau lagi dibodohi sama orang yang katanya sayang. Sama orang yang katanya peduli. Ah cuih …” ia meludah di hadapanku, ia sepertinya menganggapku telah jadi makhluk terendah yang ada di hidupnya.
“Sebodoh apa lagi aku dihadapanmu, serendah apapun aku di matamu. Aku akan menerimanya, asal kamu ngasih satu kesempatan lagi buatku. Udah, cuma itu!”
“Semudah itu? Sekali kamu buat kesalahan aku maafin, tapi untuk dua kali? Dan sekarang sepertinya kamu akan ngulangin kesalahan itu? Ah rasanya aku terlihat bodoh di depanmu, mau saja kau permainkan berkali-kali.”
“Aku salah, aku nyesel, aku … “ aku sudah tak sanggup lagi berkata-kata. Tangisku menghalangiku, mungkin tangisan inilah yang sengaja mewakili betapa hancurnya hatiku kala itu. Aku sosok lemah saat ini yang terlihat di depannya, aku begitu hancur mendengar kata demi kata yang meluncur dari mulutnya.
“Sudahlah, jangan terusan nangis. Aku yakin kamu bisa dapetin yang lebih baik daripada aku.”
“Nggak ada, nggak akan ada yang seperti kamu.”
“Nggak ada yang sebodoh aku maksudmu? Yang kamu khianati dua kali dan tetap diam saja?”
Diam.
“Sudahlah, hapus air matamu. Aku tak tega melihatmu menangis seperti ini, aku juga pengen kamu bahagia. Tapi mungkin kebahagiaanmu bukan bersamaku. Aku memang masih sedikit memendam rasaku kepadamu, sedikit dan mungkin nggak kan bisa lebih.”
“Perempuan itu? Perempuan itu yang buat rasa kamu ke aku hilang? Perempuan yang satu kelas dengan mu di mata kuliah kalkulus itu? Perempuan pintar di mata kuliah kesayanganmu itu? Perempuan sempurna di matamu? Nggak sedikitpun dia nggoresin luka di hatimu? Iya?”
“Sepertinya kamu tau isi hatiku. Belum sepenuhnya dia ada di hatiku, masih ada kamu.”
“Ada aku dan hanya sedikit?”
“Akan bertambah jika kamu sabar menungguku. Tapi mungkin  memang lebih baik kamu mencari pria lain yang lebih baik dari ku”
“Tidak, aku akan tetap menunggumu. Meski kamu akhirnya akan memilih perempuan itu, aku akan tetap menunggumu. Aku akan penuhi janjiku, takkan ku ingkari. Mungkin dengan aku menunggumu kamu bisa menelaah perempuan mana yang sebenarnya mencintaimu. Ini terakhir kalinya kamu melihatku menangis, selebihnya aku akan mencoba tegar. Jangan harap kelak air mata ini masih milikmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar